BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan kesehatan jiwa bukan hanya gejala kejiwaan saja tetapi sangat luas dari mulai yang ringan seperti kecemasan dan depresi, malas bekerja, sering tidak bisa kerja sama dengan teman sekerja, sering marah-marah,ketagihan napza sampai yang berat seperti skizoprenia(Administrator, 2008).
Setiap saat dapat terjadi 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa, syaraf maupun perilaku dan jumlahnya terus meningkat.
Pada study terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negara-negara berkembang, sekitar 76-85% kasus gangguan jiwa parah tidak dapat pengobatan apapun pada tahun utama(Hardian, 2008).
Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang demikian tinggi dibandingkan dengan masalah kesehatan lain yang ada dimasyarakat (Azrul,2001).
Krisis ekonomi dunia yang semakin berat mendorong jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, dan Indonesia khususnya kian meningkat, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa (Nurdwiyanti, 2008).
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa kerumah sakit jiwa. Sering tampak klien didikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan “pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga(Tim jiwa UI, 1999).
Factor yang menimbulkan perilaku destruktif-diri adalah kejadian kehidupan yang memalukan,masalah interpersonal (perkembangan ego yang terlambat, hubungan orangtua yang tidak memuaskan, ras takut penolakan, ketidak mampuan mengungkapkan perasaan), dipermalukan didepan umum, kehilangan pekerjaan, ancaman pengangguran(Stuart, 2008).
Bila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif,
sehingga terjadi perilaku kekerasan yang ditujukan pada orang lain, lingkungan dan diri sendiri(Jiwa kelompok9.2008).
Perilaku destruktif-diri yaitu setiap aktivitas yang tidak dicegah, dapat mengarah kepada kematian, dan perilaku destruktif-diri ini langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri(Stuart, 2005).
WHO menunjukkan bahwa diperkirakan sebanyak 873.000 orang melakukan bunuh diri tiap tahun di dunia. Oleh karna itu perlu diketahui apa saja yang yang dibutuhkan dalam rangka,membangun kesadaran dan mengurangi risiko kejadian bunuh diri(Hardian, 2008).
Begitu juga kasus bunuh diri di Amerika mencapai 30.000 orang pertahun. Angka ini menunjukkan jumlah orang yang mencoba bunuh diri jauh lebih besar lagi, diperkirakan 8-10 kali lebih besar dari jumlah tersebut(Mustikasari, 2008).
Tragisnya, lebih dari 80% penderita skizoprenia di Indonesia tidak diobati. Mereka dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau bahkan dipasung. Padahal, jika diobati 1/3 dari mereka bisa sembuh total. Tetapi bila tidak diobati, akan terus kambuh ,
dan 25-30% dari mereka resisten(Febriani, 2008).
Dilema yang dialami oleh Indonesia mengacu pada data WHO, prevalensi (angka kesakitan) penderita skizoprenia sekitar 0,2-2%, sedangkan insidensi atau kasus baru yang muncul
tiap tahun sekitar 0,01%(Febriani, 2009).
Pemerintah tidak boleh lagi menutup mata, jika tidak ingin tingkat depresi yang akan membuat orang mengambil jalan pintas seperti bunuh diri dan menjadi penderita skizoprenia di masyarakat semakin besar. Terhadap para penderita gangguan jiwa itu, hanya 30-40% gangguan jiwa bisa sembuh total, 30% harus tetap berobat jalan, dan 30% lainnya harus menjalani perawatan instruksional, atau dirawat inapkan dipanti-panti rehabilitasi(Nurdwiyanti, 2008).
Menurut Keliat, bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stress yang tinggi dan menggunakan koping yang maladptif(Wangmubo, 2009).
Penyebab bunuh diri pada individu gangguan jiwa karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan
dalam mengatasi masalah (Mustikasari, 2008).
Situasi mental yang tidak stabil merupakan salah satu penyebab mudahnya seseorang terkena psikosomatis, yaitu rentannya kondisi tubuh terhadap berbagai penyakit karena factor psikis (kejiwaan). Untuk itu perlu coping stress yang sederhana dan mudah dilakukan dengan solution focus group therapy (terapi aktivitas kelompok)(Jiwakelompok9, 2008).
Linda Metcalf juga berkata, bahwa Solution Focused Group Therapy dapat menjdi satu alternatif yang luar biasa bagi seseorang untuk sembuh dan keluar dari masalahnya serta
menemukan satu solusi yang baik(Fefendi, 2008).
Terapi Aktivitas Kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat pada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Didalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantug,saling membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memprbaiki perilaku yang lama
yang maladaptif(Keliat, 2005).
Sebaiknya mengekspresikan kemarahan dengan prilaku kontruksi dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, memberi perasaan lega, keteganganpun menurun dan perasaan marah dapat teratasi. Bila perasaan marah diekspresikan denga prilaku menantang,
biasanya dilakukan individu karena merasa kuat(Fefendi, 2008).
Terapi Aktivitas Kelompok Stimilasi Persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman dan/atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau altrnatif(Keliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok ini secara signifikan memberi perubahan terhadap ekspresi kemarahan kearah yang lebih baik pada klien dengan riwayat kekerasan. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan adanya penurunan ekspresi kemarahan setelah dilakukan terapi aktivitas kelompok sebesar 60,4%(Fefendi, 2008).
Pada terapi aktivitas stimulasi persepsi ini klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif(Keliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok ini memberi hasil : kelompok menunjukkan loyalitas dan tanggung jawab bersama, menunjukkan partisipasi aktif semua anggotanya, mencapai tujuan kelompok, menunjukkan teerjadinya komunikasi antaranggota dan bukan hanya antara ketua
dan anggota(Ann, 2005).
Oleh karena itu, WHO meminta perhatian para praktisi kesehatan dan pihak terkait lainnya untuk memandang bunuh diri sebagai penyebab utama kematian dini yang dapat dicegah. Seseuai denga tema kesehatan jiwa se-dunia : Membangun Kesadaran Mengurangi Risiko: Gangguan Jiwa dan Bunuh Diri(Depkes, 2006).
Bedasarkan pengalaman penelitian di lapangan khususnya RS Jiwa Provinsi Lampung untuk pelaksaan terapi aktivitas kelompok jarang atau tidak rutin dilakukanoleh perawat ruangan rawat inap walaupun ada tetapi tidak didokumentasikan(Jiwakelompok9, 2008).
Dari data Rumah Sakit Jiwa Mahoni tahun 2008 (januari-desember), jumlah pasien sebanyak 252 orang : Bunuh diri 7 orang, perilaku kekerasan 26 orang. Pada tahun 2009 (januari-maret) jumlah pasien sebanyak 82 0rang : yang menarik diri 6 orang dan perilaku kekerasan 12 orang dan yang penyalahgunaan napza 20 orang. Di rumah sakit inilah peneliti ingin meneliti di rumah sakit jiwa mahoni karena selain angka kejadian perilaku kekerasan yang tinggi juga tidak pernah dilakkan terapi aktivitas kelompok kepada klien maka peneliti melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di rumah sakit jiwa mahoni medan tahun 2009?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui adanya Pengaruh Terapi Aktivitas; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan Tahun 2009.
2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan Tahun 2009.
2. Mengidentifikasi Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan Tahun 2009.
3. Menganalisis Pengaruh Terapi Aktivitas; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan Tahun 2009.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan penelitian ini memberikan masukan bagi profesi dalam mengembangkan perencanaan keperawatan profesi yang akan dilakukan tentang Terapi Aktifitas Kelompok terhadap pasien gangguan jiwa.
2. Bagi Iptek
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya bagi para perawat jiwa.
3. Bagi Rumah Sakit Jiwa Mahoni
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan kepada Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan dan sebagai dokumentasi praktek Terapi Aktivitas Kelompok Rumah Sakit serta sebagai penuntun bagi perawat jiwa dalam melanjutkan praktek asuhan keperawatan jiwa.
4. Bagi Keluarga Dan Pasien
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya bagi para perawat jiwa agar dapat menjalankan askep pada keluarga dan pasien gangguan jiwa.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP KELOMPOK/GROUP
1. Defenisi Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya. Seperti agresif, takut, kebencian, kompotetif, kesamaan, ketidak samaan, kesukaan, dan menarik (Yalom, 1995 dalam stuart dan laraia, 2001). Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
2. Tujuan dan Fungsi Kelompok
a. Tujuan Kelompok
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan mal adaptif.
b. Fungsi Kelompok
Fungsi kelompok sebagai tempat berbagai pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain.
3. Komponen Kelompok
a. Struktur Kelompok
Menjelaskan batasan, komunnikasi, proses pengambilan keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pimpinan dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b. Besar Kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut stuart dan laraia (2001) adalah 7-10 orang, menurut lancester (1980) adalah 10-12 orang, sedangkan menurut rawlins-williams, dan beck (1993) adalah 5-12 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
c. Lamanya Sesi
Waktu optimal untuk 1 sesi adalah 24-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi
(stuart dan laraia, 2001). Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelopok, dapat satu kali/dua kali perminggu atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
d. Komunikasi
Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan menganalisis pola komunikasi dalam kelompok pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi.
Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetis, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan kegiatan yang dilaksanakan.
Elemen penting observasi komunikasi perbal dan non verbal
(Stuart dan laraia, 2001); Komunikasi setiap anggota kelompok, rancangan tempat duduk(setting), tema umum yang diekspresikan, frekuensi komunikasi dan orang yang dituju selama komunikasi, kemampuan anggota kelompok sebagai pandangan terhadap kelompok, proses penyelesaian masalah terjadi.
e. Peran Kelompok
Pemimpin perlu mengobserpasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja kelompok, yaitu maintenance roles, terapi aktivitas kelompok roles, dan individual roles. Maintenace roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok. Terapi aktivitas kelompok roles, yaitu pokus pada penyelesaian tugas. Individual roles, adalah self-centered dan distraksi pada kelompok.
Peran dan Fungsi Kelompok
a. peran kelompok
1. Peran kelompok sebagai mempertahankan
Pendorong (encouraqer), Penyelaras (Harmonizer), Pemusyawara (kompromiser)
Penjaga (gatekeeper), Pengikut (polower), Pembuat Peraturan (rule maker)
Penyelesaian masalah (Problem solver).
2. Peran kelompok dalam menyelesaikan tugas
Pemimpin (leadera), Penanya (guestioner), Pasilitator (facilitator)
Penyimpul (sumarizer), Evaluator (evaluator), Pemberi inisiatip (initiator).
3. Peran kelompok sebagai individu
Korban, Monopoli, Seduser, Diam, Tukang komplain, Negatif , Moralis.
b. Fungsi kelompok
1. Fungsi Kelompok sebagai mempertahankan
Memberi pengaruh positif pada kelompok, Menjaga tetap damai, Meminimalkan konflik dengan mencari alternatif, Menetapkan tingkat penerimaan kelompok terhadap anggota secara individual, Berperan sebagai peserta yang menarik, Membuat standar perilaku kelompok mis: waktu dan pakaian, Menyelesaikan masalah angar kelompok agar kelompok dapat terus bekerja.
2. fungsi kelompok dalam menyelesaikan tugas
Memberi arahan, Mengklarifikasi isu dan informasi, Menjaga kelompok tetap fokus, Menyimpulkan posisi kelompok, Mengklaji kinerja kelompok, Memulai diskusi kelompok.
3. fungsi kelompok sebagai individu
Dipandang negatif oleh kelompok, Berperan aktif mengontrol kelompok Menjaga jarak dan meminta diperhatikan, Mengontrol secara pasif degar diam, Mengeluh dan marah pada kerja kelompok, Mengecilkan kerja kelompok, Berperan sebagai penilai benar dan salah
f. Kekuatan Kelompok
Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota kelompok dalam mempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok
( Stuart dan laraia, 2001).
g. Norma Kelompok
Norma adalah standar perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masalalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok.
Kesesuaian perilaku anggota kelompok dengan norma kelompok penting dalam menerima anggota kelompok. Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontak dan ditolak anggota kelompok lain.
h. Kekohesifan
Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok, perlu diindentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan.
Pemimpin kelompok (terapis) perlu melakukan upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, seperti mendorong anggota kelompok bicara satu sama lain, diskusi dalam kata-kata ”kita” menyampaikan kesamaan anggota kelompok, membantu anggota kelompok untuk mendengarkan ketika yang lain bicara kekohesifan perlu diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pijuan dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
4. Perkembangan Kelompok
a. pase pra kelompok
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pimpinan dan pelaksanaan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu, perlu disusun proposal atau panduan pelaksanaan kegiatan kelompok. Proposal dapat pula berupa pendoman atau panduan menjalankan kegiatan kelompok.
b. Pase awal Kelompok
Pase ini ditandai dengan ansietas karna masuknya kelompok baru, dan peran yang baru.
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan. Pemimpin kelompok mengorentasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan kerahasiaan, waktu pertemuan, struktus, kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang bicara pada suatu waktu, norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara anggota kelompok di upayakan terbentuk pada fase orientasi.
2. Tahap Konflik
Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini. Sebagian ingin pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahkan, atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Ada pula anggota yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konfik peran yang terjadi. Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antara anggota kelompok maupun anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik negatif maupun positif dan membantu kelompok mengenai penyebab konflik. Serta menjega perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab konflik.
3. Tahap Kohesif
Setelah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif akan sering diungkapkan. Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain.
Pada tahap akhir fase ini tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan. Merka belajar persamaan dan perbedaan, anggota kelompok akan membantu pencapaian tujuan yang menjadu suatu realitas.
c. Fase Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun mereka walaupun mereka bekerja keras tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menajdi stabil dan realitis.
Tugas pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan tetap menjaga kelompok kearah pencapaian tujuan. Serta mengurangi dampak dari faktor apa saja yang dapat mengurangi produktitivitas kelompok. Selain itu, pemimpin juga bertindak sebagai konsultan. Pada akhir fase ini anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian.
d. Fase Terminasi
Terminasi dapat sementara (temporal) atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karna anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian baik kelompok maupun individu. Pada tiap sisi dapat pula dikembangkan instrumen evaluasi kemampuan individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu.terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan zaherí-hari pada akhir sesi ini, perlu dicatat atau didokumen tasikan proses yang terjadi berupa notulen. Juga didokumentasikan pada catatan inplementasi tindakan keperawatan tentang pencapaian dan perilaku yang perlu dilatih pada kelien diluar sesi (keliat, 2005).
B. Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu fokus terapi adalah membuat sadar diri (self-awareness). Peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
1. Jenis terapi kelompok
a. Kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian social.
Tujuan Kelompok terapeutik:
1. Mencegah masalah kesehatan
2. Mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok
3. Meningkatkan kualitas kelompok, antara anggota kelompok saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
b. Terapi aktivitas kelompok
Kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan yaitu, stimulasi presepsi, stimulasi sensoris, orientasi realita,
dan sosialisasi(keliat, 2005).
Pada terapi ini, seorang perawat spesialis yang menjadi tropis dan enam sampai delapan orang bertemu secara teratur dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan hubungan interpersonal dan mengubah pola perilaku yang mal adaptif. Kemudian klien mempelajari bagaimana membuat ekspresi perasaan yang sesuai dan menggali cara-cara untuk meningkatkan pertumbuhan dan perubahan pribadi(Copel, 2007).
Proses kelompok adalah makna interaksi perval dan non verbal di dalam kelompok yang meliputi:isi komunikasi, Hubungan antara anggota, Pengaturan tempat duduk, Pola atau nada bicara, bahasa dan sikap tubuh, Tema kelompok yang dapat diekspresikan baik secara terbuka atau tertutup. Kelompok terapi berfokus pada hubungan kelompok, interaksi antar anggota, dan masalah dalam hidup dan perilaku yang terjadi disana dan saat ini(Ann, 2005).
2. Bentuk terapi kelompok
a. Kelompok eksplorasi interpersonal
Tujuannya adalah mengembangkan kesadaran diri tentang gaya hubungan interpersonal melalui umpan balik korektif dari anggota kelompok yang lain. Pasien diterima dan didukung oleh kerena itu, utuk meningkatkan harga diri, tipe ini yang paling umum dilakukan.
b. Kelompok Bimbingan-Inspirasi
Kelompok yang sangat terstruktur, kosesif, mendukung, yang meminimalkan pentingnya tilikan, dan memaksimalkan nilai diskusi didalam kelompok dan persahabatan. Kelompoknya mungkin saja besar, anggota kelompok dipilih sering kali kerena mereka”mempunyai problem yang sama”.
c. Terapi Berorientasi Psikoanalitik
Suatu tehnik kelompok dengan struktur yang longgar, terapis melakukan interprestasi tentang konflik nirsadar pasien dan memprosesnya dari obserpasi interaksi antar anggota kelompok.
Sebagian besar terapi kelompok yang sukses tampaknya bergantung lebih pada pengalaman, sensitivitas, kehangatan, dan kharisma pemimpin kelompok dari pada orientasi teori yang dianut(tomb, 2004).
Berbagai masalah dalam kelompok untuk mengembangkan insinght, kepercayaan diri, sensitifitas, dan keterampilan sosial. Terdapat penekanan pada hubungan timbal balik antar anggota kelompok yang dipasilitasi oleh ahli terapi. Terapi kelompok dapat berlangsung terus menerus atau terbatas waktu(Hibbert, 2009:157).
C. Terapi Aktivitas Kelompok
1. Defenisi Terapi Aktifitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama(keliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktipitas kelompok stimulasi realita, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi.
2. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok
a. Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Kognitif / Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi.
Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif.
Stimulus yang disediakan baca artikel / majalah / buku / puisi, menonton acara TV, stimulus dari pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang mel adaptif atau distruktif, mis: kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negatif pada orang lain, dan halusinasi.
1. Defenisi Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Kognitif / Persepsi
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan / atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.
2. Tujuan TAK Stimulasi Persepsi
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya.
b. Tujuan Khusus
1. Klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat.
2. Klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
3. Aktifitas dan Indikasi
a. Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari.
1.Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Menonton Televisi
2.Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Membaca majalah/Koran/Artikel.
3.Terpai aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Melihat Gambar.
Klien yang mempunyai Indikasi TAK ini adalah klien perubahan sensiris persepsi dan klien menarik diri yang telah mengikuti TAKS.
4. Aktivitas Mempersepsikan stimulus Nyata dan Respons yang dialami dalam kehidupan.
Aktivitas khususnya untuk klien perilaku kekerasan. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
a. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Mengenal Perilaku kekerasan yang biasa dilakukan (penyebab: tanda dan gejala: perilaku kekerasan: akibat perilaku kekerasan)
b. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Mencegahperilaku kekerasan malalui kegiatan: Fisik.
c. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif.
d. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat.
e. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
Klien yang mempunyai indikasi TAK ini adalah klien perilaku kekerasan yang telah kooperatif.
5. Aktivitas Mempersepsikan Stimulus tidak nyata dan Respon yang dialami dalam kehidupan.
Aktivitas dibagi kedalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:
a. Terapi Aktivitas kelompok stimulasi persepsi: Mencegah halusinasi.
b. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi : Mengusir/menghardik halusinasi.
c. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi : Mengontrol halusinasi melakukan kegiatan.
d. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi : Menontrol halusinasi dengan bercakap-cakap.
e. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
Klien yang mempunyai indikasi TAK ini adalah klien halusinasi.
6. Aktivitas Mempersepsikan Stimulasi Nyata yang menyebankan Harga diri Rendah.
Aktivitas ini dapat dibagi dalam sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:
a. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi: Mengidentifikasi aspek yang dapat membuat harga diri rendah dan aspek positif kemampuan yang dimiliki selama hidup (dirumah dan dirumah sakit)
b. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi: Melatih kemampuan yang dapat dirumah sakit dan dirumah.
Klien yang mempunyai indikasi terapi aktivitas kelompok adalah klien gangguan konsep diri: harga diri rendah.
b. Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Sensoris
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian diobservasi reaksi sensoris klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan secara non Verbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh).
Biasanya klien tidak mau menggungkapkan komunikasi verbal akan terstimulasi omosi dan perasaannya, serta menampilkan respon. Aktifitas yang digunakan sebagai stimulus adalah : musik, seni, menyanyi, menari, jika hobi klien diketahui sebelumnya, dapat dipakai sebagai stimulus, misalnya lagi kesukaan klien, dapat digunakan sebagai stimulus.
c. Terapi Aktifitas Kelompok orientasi Realitas
Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar, yaitu diri sendiri, orang lain yang di sekeliling klien atau orang yang dekat dengan klien dan lingkungan yang mempunyai hubungan dengan klien.
Aktifitas berupa: orientasi orang, waktu, tempat, benda yang ada disekitar, dan semua kondisi nyata.
d. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari inter personal (satu dan satu), kelompok, dan massa. Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok.
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi pernahditeliti dan memberi dampak pada kemampuan klien dalam bersosialisasi. Terapi aktivitas yang lain telah digunakan dibeberapa Rumah Sakit Jiwa. Dengan evaluasi dan penelitian tentang manfaat terapi aktivitas kelompok yang akan memberi kontribusi peningkatan kemampuan perawat dalam melaksanakan terapi aktivitas kelompok dapat diperoleh melalui pendidikan keperawatan berkelanjutan diharapkan perawat yang melaksanakan terapi aktivitas kelompok telah mengikuti pendidikan khusus.
Rawlins, willians, dan beck mengidentifikasi tiga area yang perlu dipersiapkan untuk memjadi terpai atau pemimpin terapi kelompok, yaitu persiapan teoritis melalui pendidikan formal, literatur, bacaan, dan lokakarya. Pengalaman mengikuti terapi kelompok.
D. Gangguan Jiwa
1. pengertian gangguan jiwa
Salah satu persyaratan dasar bagi kesehatanjiwa Individu adalah bahwa ia mampu mengevaluasi diri dengan nilai-nilai serta kebiasaaan mesyarakatnya.sementara berkembang kita mendapatkan bahwa kita perlu mengikuti pola tradisi sosial yang adabila kita ingin diterima oleh anggota-anggota yang lain. Sebenarnya kita mempelajati tata cara sosial tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang membimbing perilaku kita. Tradisi sosial semacam ini mendasari tidak hanya standar moral kita tetapi juga penilaian kita terhadap perilaku normal dan abnormal(Mcghie, 1991, 335).
Seseorang yang masuk kerumah sakit jiwa bertujuan untuk mendapat perawatanbaik atas dasar sukarela (voluntar)maupun dibawa orang lain(dipaksa). Semua negara bagian memperbolehkan individu dirawat di rumah sakit secara paksa jika prasayarat komitmensipil terpenuhi. Klien dapat dirawat tampa persetujuan (secara paksa) jika mereka melakukan tindakan bunuh diri, pembunuhan, memiliki perilaku psikotik, kekerasn, atau paranoid(Copel, 2007).
Status kesehatan jiwa individu sangat menentukan kualitas hidup, maka sudah saatnya mendapat perhatian khususnya karena status kesehatan jiwa yang buruk akan mengakibatkan kerugian yang besar dan menurunkan indeks pembangunan manusia indonesia. Kesehatan jiwa harus terintegrasi kedalam sebuah aspek kesehatan, kebijakan publik, perencanaan, sistem kesehatan serta pelayanan kesehatan dasar dan rujukan(Administrator, 2008).
Kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan secara menyeluruh. Bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan prsaan bahagia, sehat, serta mampu menangani tantangan hidup, (Febriani, 2009).
Gangguan Jiwa adalah gangguan fikiran, perasaan atau tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan, dan terganggu fungsi sehari-hari sedangkan sakit jiwa adalah gangguan jiwa berat yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus. Gangguan jiwa, walaupun tidak langsung menyebabkan ketidak matian, tapi menimbulkan penderiataan yang mendalam bagi individu serta beban berat bagi keluarga. Masyarakat menyebut sakit jiwa bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa berat(Febrida, 2007).
Gangguan kesehatan jiwa bukan hanya gejala kejiwaan saja tetapi sangat luas dari mulai yang ringan seperti kecemasan dan depresi, malas bekerja, sering tidak bisa kerja sama dengan teman sekerja, sering marah-marah, ketagihan napza sampai yang berat seperti skizoprenia(Administrator, 2008).
2. jenis gangguan jiwa
1. Gangguan Isolasi Sosial.
Isolasi Sosial adalah keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam.
a. Penyebab Isolasi Sosial
Kurangnya rasa percaya pada orang lain, Panik, Regoesi ketahap perkembangan sebelumnya, Waham, Sukar berinteraksi dengan orang lain pada masa lampau, Perkembangan ego yang lemah, Presepsi rasa takut.
b. Batasan karakteristik.
a. Menyendiri dalam ruangan.
b. Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata.
c. Sedih, apek datar.
d. Meringkuk ditempat tidur dengan punggung menghadap kepintu.
e. Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur dengan perkembanga usianya.
f. Berfikir menurut fikirannya sendiri, tindakan berulang-ulang dengan tidak bermakna.
g. Mengekspresikan perasaan menolak atau kesepian kepada orang lain (Townsend, 1991).
2. Gangguan Alam Perasaan
Alam peresaan adalah perpanjangan keadaan emosional yang mempengruhi seluruh kepribadian dan Fx kehidupan seseorang. Alam perasaan ini meliputi emosi seseorang yang kuat dan menyebar dan mempunyai arti yang sama dengan afek, keadaan perasaan, dan emosi respon mal adaptifnya adalah mania dan depresi.
Mania adalah ditandai dengan adanya alam perasaan yang meningkat, bersemangat, atau mudah terganggu.
Depresi adalah suatu kesedihan dan perasaan duka yang berkepanjangan atau abnormal(stuart, 2007).
3. Perilaku Kekerasan.
Perilaku destruktif-diri yaitu setiap aktifitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada kematian. Perilaku destruktip-diri langsung mencakup setiap bentuk aktifitas bunuh diri(stuart, 2007).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secara fisik, emosional dan atau seksualitas. Perilaku kekerasan atau agresif meupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
E. Perilaku Kekerasan.
1. Defenisi Perilaku Kekerasan
Perilaku destruktif- diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada kematian. Perilaku destruktif- diri langsung mencakup setiap aktivitas bunuh diri(stuart, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan- tindakan yang dapat membahayakan/ mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan. Seseorang yang mengalami masalah ini harus diberikan rencana dan tindakan yanng sesuai sehingga pola ekspresi kemarahannya dapat diubah menjadi bentuk yang bisa diterima yaitu perilaku yang sesui, yaitu ekspresi kemarahan langsung kepada sumber kemarahan dengan tetap menghargai orang yang menjadi sumber kemarahan tersebut.
2. Faktor Yang Melatar Belakangi
Faktor yang melatar belakangni terjadinya perilaku kekerasan merupakan dampak dari berbagai pengalaman yang dialami tiap orang, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu.
a. psikologis(kejiwaan), kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul aggresif atau amuk. Masa kanak- kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya, atau saksi penganiayaan.
b. Perilaku reinforcement(penguatan/ dukungan), yang diterima pada saat melakukan kekerasan sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
c. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah- olah perilaku kekerasan diterima.
d. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistem persarafan ditolak turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan(harnawatiaj, 2008).
3. Faktor Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami, tiap orang yang merupakan faktor predisposisi artinya mungkin terjadi / mungkin tidak terjadi perilakukekerasan jika faktor berikut dialami olehindividu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timgul agresif atau amuk.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan sering mengobserpasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
4. Bioneorologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobus prontal, lobus temporal, dan ketidak seimbangan neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitas dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain, kondisi klien dengan kelemahan fisik, keputus asaan, ketidak berdayaan, percaya diri kurang jadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian juga dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang berakhir pada hinaan, kehilangan orang yang dicintai, atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebaba yang lain(Mas danang, 2008).
Perilaku destruktif-diri tidak langsung meliputi: Merokok, Menyabu, Berjudi, Tindakan kriminal, terlibat dalam aktivitas rekreasi beresiko tinggi, Penyalagunaan zat, Perilaku yang menyimpang secara sosial. Prilaku yang menimbulkan stress, Gangguan makan, Ketidak patuhan terhadap pengobatan Medis(stuart, 2007).
4. tanda dan gejala
Muka merah, pandaangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat. Sering pula klien memksakan kehendak, merampas makanan, memukul bila tidak senang. Wawancara diarahakan pada penyebab marah,perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan oleh sesorang(harnawatiaj, 2008).
5. Rentang Respon Perilaku Kekerasan.
a. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tampa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan dan tidak menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan.
c. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari, suatu tuntutan nyata.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol.
e. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
f. Bunuh diri.
6. Tanda Ancaman Kekerasan.
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik
b. Ancaman verbal atau fisik
c. Membawa benda atau senjata lain yang dapat digunakan sebagai senjata
d. Agitasi psikomotor progresif
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik
g. Halusinasi pendengaran dengan prilakukekerasan tetapi tidak semua pasien berada pada resiko tinggi
h. Penyakit otak
i. Kata tonik
j. Episode masih tertentu
k. Episod depresif
l. Gangguan keperibadian(mas danang, 2008).
7. perilaku unuh diri
Dalam pengkajian bunuh diri, lebih ditekankan pada letalitas dari metode yang mengancam atau digunakan. Orang yang siap bunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai alat untuk melakukan bunuh diri.
Perilaku bunuh diri biasanya dibagi tiga:
1. Ancaman bunuh diri: Pernyataan verbal dan non verbal bila seseorang mempertimbangkan untuk bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri: semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu yang dapat memyebabkan kematian, jika tidak di cegah.
3. Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan(stuart, 2007).
Seperlima dari percobaan bunuh diri tidak dapat di antisipasi sekalipun dengan kemajuan pengetahuan saat ini, presiksi yang akurat masih sulit diperoleh, kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila:
1. Pasien pernah mencobah bunuh diri (terlihat di ruang gawat darurat, bangsal perawatan.
2. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan. Maupun tidak atau berupa ancaman” kamu tidak saya ganggu lebih lama lagi” terhadap keluarga.
3. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresi atau cemas.
4. baru mengalami kehilangan yang bermakna
5. Perubahan Perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, berbicara serius dan mendalam.
6. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri (Tamb, 2009).
Tetapi tidak semua percobaan bunuh diri menjadi bunuh diri. Mungkin sulit membedakan antara tindakan yang bertujuan agar mati dan yang merupakan tindakan segaja menyakiti diri sendiri(Hibbert, 2009).
F. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap kosep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti (setiadi, 2007).
G. Hipotesis penelitian
Jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis komperatif.
Ha : µ < µ , dimana jika eksperimen lebbih kecil pembanding
H0 :µ ≥ µ , dimana jika eksperimen lebih besar dari pada pembanding
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian berdasarkan metode adalah eksperimen.
Desain yang dipakai dalam penelitian ini adalah Quasi Eksperimen desain dengan pendekatan Non Equivalen Kontrol. Yaitu mengobserpasi pengamatan pada kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol.
B. Lokasi dan Tempat Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan. Adapun alasan ini memelilih tempat penelitian ini adalah karena di tempat ini pasien dengan perilaku kekerasan peningkatannya tinggi tiap tahunnya dan tidak pernah dilakukan terapi aktivitas kelompok.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan oleh peneliti pada bulan juni 2009 sampai dengan bulan juli 2009.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti(Notoatmojo, 2005).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua klien dengan riwayat perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan, sebanyak 12 orang.
2. Sampel
Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah” non-Probability Sampling” dengan tehnik” sampling jenuh” yaitu tehnik penentuan sampel bila semua populasi digunakan sampel (Setiadi, 2007).
Jadi sampel penelitian ini adalah semua klien dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan sebanyak 12 orang.
D. Metode Pengumpulan data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder yaitu sumber yang tidak langsung memeberikan data kepada pengumpul data(lewat orang lain atau dokumen). Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan interviw dan observasi (observasi terstruktur ) yaitu pengumpulan data melalui tatap muka dan dalam melakukan pengamatan peneliti menggunakan instrumen peneliti yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya, dengan Rating Scale.
Diawali peneliti mengobservasi, dengan instrumen peneliti klien sebelum dilakukan treatment, dan mengobservasi dengan instrumen yang sama setelah dilakukan treatment pada klien pembanding dan klien pengontrol.
E. Variabel dan Defenisi Operasional
1. variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari Varibel Independen(variabel bebes) dan Varibel Dependen (variabel terikat).
Varibel Independen(variabel bebes) dalam penelitian ini adalah Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi.
Varibel Dependen (variabel terikat) dalam penelitian ini adalah Ekspresi Kemarahan Pada Klien Riwayat Perilaku Kekerasan.
2. Defenisi Operasional
Variabel independen: Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi adalah terapi/aktivitas yang diberikan pada klien merangasang stimulus untuk didiskusikan.
Varibel Dependen : Ekspresi Kemarahan Pada Klien Riwayat Perilaku Kekerasan adalah respon klien terhadap sesuatu stimulus yang biberikan.
F. Metode Pengukuran Data
Pada penelitian ini menggunakan lembar observasi yang sudah vallid dengan 30 pernyataan tentang ekspresi kemarahan pada klien perilaku kekerasan dengan menggunakan skala ordinal dimana :
0 = Tidak ada atau tidak pernah
1 = sesuai dngan yang dialami sampai tingkat tertentu, kadang- kadang
2 = sering
3 = sangat sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat.
Dengaan ekspresi kemarahan dikelompokkan menjadi:
0-30 = rendah
31-60 = sedang
61-90 = tinggi
Untuk mempermudah menentukan interval kelas dari jawaban yang masuk melalui lembar observasi maka digunakan.
Rumus
Keterangan:
R = nilai tertinngi – nilai terendah
I = lebar interval kelas.
G. Metode Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik t = test polled varian, yaitu
X +X = Perbedaan Dua Rerata
Sx -x = kesalahn standart
Dimana jika nilai μ < μ berarti ho ditolak, dengan demikian ada Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan.
BAB IV
HASIL PENELTIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Peneliti mengambil rumah sakit jiwa mahoni medan menjadi tempat penelitian karena di rumah sakit ini pasien perilaku kekerasan tiap tahunnya meningkat dan tidak pernah dilakukan terapi aktivitas kelompok dalam asuhan keperawatan jiwa. Maka peneliti ingin meneliti dan membuktikan seberapa besar Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan.
B. kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya. Seperti agresif, takut, kebencian, kompotetif, kesamaan, ketidak samaan, kesukaan, dan menarik (Yalom, 1995 dalam stuart dan laraia, 2001). Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok. Peneliti membagi responden dalam 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok pembanding, yuang nantinya hasil kedua kelompok ini dibandingkan untuk mengetahui besar penaruh terapi aktivitas kelompok terhadap ekspresi kemarahan pada klien dngan riwayat perilaku kekerasan.
C. Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu fokus terapi adalah membuat sadar diri (self-awareness). Peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
D. Terapi Aktifitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama(keliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktipitas kelompok stimulasi realita, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. dan pada penelitian ini terapi dilakukan sesudah klien diobservasi terlebih dahulu dengan lembar obsevasi kemudian diberi terapi aktivitas kelompok, dan sesudah responden diobservasi maka terapi aktivitas kelompok dilakukan kemudian responden dionservasi kembali dengan lembar observasi yang sama.
E. Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan- tindakan yang dapat membahayakan/ mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan. Seseorang yang mengalami masalah ini harus diberikan rencana dan tindakan yanng sesuai sehingga pola ekspresi kemarahannya dapat diubah menjadi bentuk yang bisa diterima yaitu perilaku yang sesui, yaitu ekspresi kemarahan langsung kepada sumber kemarahan dengan tetap menghargai orang yang menjadi sumber kemarahan tersebut.
Terapi yang dilakukan pada pasien gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan yang ekspresi kemarahannya belum terarah dengan baik(perilaku yanng mal-adaptif), menjadi terarah(perilaku adaptif).
F. Hasil Analisa Dari Penelitian
Pada peneltian ini dilakukan pada tanggal 7 juli sampai 13 juli dengan Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan.
Adapun data- data yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik Responden
Tabel 1.1 karakteristik data demografi berdasarkan usia
a. pada eksperimen
no Usia frekuensi presentase
1.
2.
3. 20-30
31-40
41-50 2
4
- 33,3%
66,7%
-
b. pada pembanding
no Usia frekuensi presentase
1.
2.
3. 20-30
31-40
41-50 1
5
- 16,7%
83,3%
-
Hasil penelitian tentang data demografi pada klien perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa mahhoni medan, yang dilakkukan pada tanggal 7 juli sampai 13 juli 2009 berdasarkan usia sebanyak 10 orang responden.
Tabel 1.2 karakteristik data demografi berdasarkanjenis kelamin
a. pada kelompok eksperimen
no Jenis Kelamin frekuensi presentase
1.
2.
Laki- laki
perempuan 3
3 50%
50%
b. pada kontrol
no Jenis Kelamin frekuensi presentase
1.
2.
Laki- laki
perempuan 3
3 50%
50%
Hasil penelitian tentang data demografi pada klien dengan riwayat perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa mahoni medan, yang dilakukan pada tanggal 7 juli sampai tanggal 13 juli tahun 2009 berdasarkan jenis kelamin sebanyak 6 0rang perempuan dan 6 orang laki- laki.
2. Karakteristik Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan
Tabel 2.1 distribusi frekuensi ekspresi kemarahan pada eksperimen
a. pre-test pada eksperimen
no karakteristik frekuensi presentase
1.
2.
3. Tinggi
Sedang
Rendah 1
5
- 16,7%
83,3%
-
b. post-test pada eksperimen
no karakteristik frekuensi presentase
1.
2.
3. Tinggi
Sedang
Rendah -
2
4 -
33,3%
66,7%
c. pre-test pada pembanding
no karakteristik frekuensi presentase
1.
2.
3. Tinggi
Sedang
Rendah -
6
- -
100%
-
d. post-test pada pembanding
no karakteristik frekuensi presentase
1.
2.
3. Tinggi
Sedang
Rendah 1
5
- 16,7%
83,3%
-
Karakteristik ekspresi kemarahan pada pre-test yang dikaji pada kelompok eksperimen yang dikaji dengan menggunakan lembar observasi dimana setiap pernyataan diberi kesempatan nilai: 0-3 yang mana 0= tidak ada atau tidak pernah, 1= sesuai yang dialami sampai tingkat tertentu atau kadang- kadang, 2= sering, 3= sangat sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat. Kemudian hasil akhir discoring berdasarkan tingkat ekspresi kemarahan yaitu: tinggi= 61-90, sedang= 31-60, rendah= 0-30. hasil data yang diperoleh sebelum diberi perlakuan responden yang ekspresinya tinggi sebanyak pada kelompok eksperimen 1 orang(16,7%) dan sedang sebanyak 5 orang(83,3%) dan ssesudah dilakukan teratment tinggi -, sedang 2 orang(33,3%), rendah(66,7%).
3. Karakteristik Nilai Tingkat Ekspresi Kemarahan, Sebelum Dan Sesudah Treatment Dilakukan.
a. Pada Kolompok Eksperimen
Hasil penelitian kemudian diuji statistik dengan uji statistik uji t-test polled varian, dan didapat hasil penelitian sebelum perlakuan pada kelompok eksperimen mean= 50,83 dan sesudah perlakuan mean =29,33.
b. Pada Kelompok Pembanding
Hasil penelitian kemudian diuji statistik dengan uji statistik uji t-test polled varian, dan didapat hasil penelitian sebelum perlakuan mean= 48,33 dan post test mean= 50,33.
4. Perbedaan Ekspresi Kemarahan Sebelum Dan Sesudah Treatment Dilakukan
Untuk mengetahui seberapa besar Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan, digunakan uji statistik t- test polled varian. Dari uji statistik didapat bahwa terapi aktivitas; stimulasi persepsi terhadap ekspresi kemarahan pada klien dengan riwayat perilaku kekerasan pada eksperimen adalah μ < μ , (μ =346,04 < μ =1076,4) dan pada kelompok pembanding tidak terdapat Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok; Stimulasi Persepsi Terhadap Ekspresi Kemarahan Pada Klien Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan adalah μ ≥ μ (μ =346,04 dan μ =1076,4).
BAB IV
PEMBAHASAN DAN KETERBASAN
A. Pembahasan
Pada penelitian ini, peneliti membandingkan ekspresi kemarahan pada kelompok pembanding dan kelompok eksperimen.
Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 12 orang, dengan Quasi Eksperimen desain dengan pendekatan Non Equivalen Kontrol., kemudian responden dikaji dengan lembar observasi yang sama sebelum dan sesudah.
Berdasarkan karakteristik data demografi usia dan jenis kelamin dari 12 responden : pada kelompok eksperimen responden yang berusia 20-30 tahun 33,3%(2 orang), 31-40 tahun 66,6%(4 orang),41-50= -, pada kelompok pembanding responden yang berusia 20-30 tahun 16,6%(1 orang), 31-40 tahun 83,3%(5 orang), 41-50 = -. Dan jenis kelamin pada kelompok eksperimen: laki- laki sebanyak 3 orang, perempuan sebanyak 3 orang. Dan pada kelompok pembanding: laki- laki sebanyak 3 oarang, perempuan sebanyak 3 orang.
Berdasarkan hasil skoring diperoleh hasil data pada kelompok eksperimen pre-test responden yang ekspresi kemarahannya tinggi= 16,6%(1 orang), sedang= 83,3%(5 orang), dan post-test bahwa pada kelompok eksperimen responden yang ekspresi kemarahannya tinggi= 33,3%(2 orang), sedang= 66,7%(4 orang). Dan pada kelompok pembanding responden yang ekspresi kemarahannya pre-test tinggi=-, sedang=100 %(6 orang), dan post-test bahwa pada kelompok pembanding responden yang ekspresi kemarahannya tinggi=16,7 %( 1orang), sedang 83,3%(5 orang), rendah = -.
Menurut Dr. Budi anna keliat, bahwa terapi aktivitas kelompok merupakan tempat klien berlatih perilaku yang adaptif untuk memperbaiki perilaku yang lama yang adaptif. Berdasarkan pengalaman dan survey di rumah sakit jiwa, masalah keperawatan yang paling banyak ditemukan adalah perilaku kekerasan, halusinasi, menarik diri, dan harga diri yang rendah. Oleh karena itu terapi aktivitas kelompok diarahkan pada ke empat masalah tersebut.
Menurut linda metcalf bahwa solution focused group therpi menjadi alternatif yang luar biasa bagi seseorang untuk sembuh dn keluar masalahnya serta mudah menemukan satu solusi yang baik.
Sebaiknya mengekspresikan kemarahan dengan perilaku konstruksi dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, memeberi perasaan lega, ketegangan menurun dan perasaan marah dapat teratasi. Bila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku menantang, biasanya dilakukan individu karena merasa kuat.
Berdasarkan hasil penelitian terapi aktivitas kelompok secara signifikan memberi perubahan terhadap ekspresi kemarahan kearah yang lebih baik pada klien pada riwayat perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa mahoni. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji statistik bahwa nilai eksperimen lebih kecil dari nilai pembanding yaitu μ =346,04 < μ =1076,4. H0 ditolak. Berati ada pengaruh terapi aktivitas kelompok; stimulasi persepsi terhadap ekspresi kemarahan pada klien dengan riwayat perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa mahoni medan tahun 2009.
B. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mempunyai keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian yaitu:
1. keterbatasan dalam melakukan terapi aktivitas kelompok, karena peneliti perlu bantuan dalam menjalankan terapi berhubungan pasien gangguan jiwa.
2. keterbasan dalam dalam tehnik pengumpulan data berhubung pola pikir pasien gangguan jiwa yang tidak menentu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 12 orang responden dengann Quasi Eksperimen desain dengan pendekatan Non Equivalen Kontrol dengan uji t-test polled varian diproleh hasil μ =346,04 < μ =1076,4, jadi kesimpulan ada pengaruh terapi aktivitas; stimulasi persepsi terhadap ekspresi kemarahan pada klien dengan riwayat perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa mahoni medan tahun 2009.
B. SARAN
1. Bagi Lokasi Penelitian
Terapi aktivitas kelompok mempengaruhi tingkat perubahan perilaku mal- adaptif menjadi adaptif, maka disarankan bagi tenaga kesehatan dan pihak rumah sakit jiwa mahoni menerapkan terapi aktivitas kelompok menjadi intervensi dalam asuhan keperawatan jiwa.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti ini membandingkan kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, sebaiknya peneliti selanjutnya melakukan penelitian tentang perbandingan terapi aktivitas kelompok dengan 2 jenis terhadap gangguan jiwa yang sama untuk membandingkan terapi aktivitas yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, suharsimi. (2007). Management penelitian. Jakarta: pt. Rineka cipta.
Alimul, a. (2007). Metode penelitian keperawatan dan tehnik analisa data. Jakarta: salemba medica.
Ani durwiyanti.(2008). Internet. Penderita gangguan jiwa di indonesia semakin meningkat. Jakarta: http://www.Swaberita.com.
Bany hardian.(2008). Internet. 90% kasus bunuh diri terkait gangguan jiwa. Jakarta: http://www.banner-store.blogspot.com.
Copel,lc. (2007). Kesehatan jiwa dan psikiati pedoman klinik perawat, edisi: 2. jakarta: egc
Febriani,rn. (2009). Internet. Laporan akhir tahun bidang kesehatan penderita. Jakarta: http://www.pikiran-rakyat.com.
Fefendy. (2008). Internet. Pengaruh tarapi aktivitas kelompok; latihan asertif. Jakarta: http://www.indonesiannursing.com.
Kel.9. (1999). Kumpulan proses keperawatan masalah keperawatan jiwa. Jakarta: fikui.
Harnawatiaj. (2008). Internet. Perilaku kekerasan. Jakarta: http://www.ronawajah.wordpress.com.
Hilbbert,alison et al. (2009). Rujukan cepat psikiatri. Jakarta: egc.
Keliat,budi et al. (2005). Keperawatan kesehatan jiwa, edisi: 2. jakarta: egc.
Mcghie, andrew. (1996). Penerapan psikologi daalam perawatan, edisi: 1. yogyakarta: andi dan yayasan essentic medica.
Mas danang. (2008). Internet. Gambaran umum pasien dengan perilaku kekerasan. Batam: http://www.masdanang.com.
Mustika sari. (2006). Internet. Faktor- faktor perilaku mencederai diri. Tembolok: http://www.mustikanurse.blogspot.com.
Notoatmodjo. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: rineka cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: salemba medica.
Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan, edisi: 1. yogyakarta: graha ilmu.
Sugiyono,DR,PROF. (2004). Metode penelitian bisnis. Bandung: CV.ALFABETA.
Stuart,GW.(2207). Buku saku keperawatan jiwa, edisi: 6. jakarta: EGC.
Tomb,DA. (2004). Buku saku diagnosa keperawatan psikiati pedoman untuk pemuat rencana perawatan, edisi: 3. jakarta;EGC
Mengapa saya ingin menulis tentang keperawatan!! karna saya adalah seorang perawat.. kemudian saya sangat prihatin terhadap kehidupan seorang perawat.. MARI KITA BERSATU MEWUJUDKAN PERAWAT YANG PROPESIONAL
Rabu, 28 Oktober 2009
Sabtu, 24 Oktober 2009
LAPORAN PENDAHULUAN Skizofrenia
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
2. Penyebab
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium., tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
d. Susunan saraf pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
e. Teori Adolf Meyer :
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
f. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.
g. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
h. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
i. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan manifest atau faktor pencetus (presipitating factors) seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak menyebabkan Skizofrenia, walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit Skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).
3. Pembagian Skizofrenia
Kraepelin membagi Skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama antara lain :
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adaanya depersenalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi banyak sekali.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan.
e. Episode Skizofrenia akut
Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
f. Skizofrenia Residual
Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan Skizofrenia.
g. Skizofrenia Skizo Afektif
Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga gejala-gejal depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin juga timbul serangan lagi.
Konsep Dasar Skizofrenia Hebefrenik
1. Batasan : Salah satu tipe skizofrenia yang mempunyai ciri ;
1. Inkoherensi yang jelas dan bentuk pikiran yang kacau (disorganized).
2. Tidak terdapat wamam yang sistemik
3. Efek yang datar dan tak serasi / ketolol – tololan.
2. Gejala Klinik
Gambaran utama skizofrenia tipe hebefrenik berupa :
- Inkoherensi yang jelas
- Afek datar tak serasi atau ketolol – tololan.
- Sering disertai tertawa kecil (gigling) atau senyum tak wajar.
- Waham / halusinasi yang terpecah – pecah isi temanya tidak terorganisasi sebagai suatu kesadaran, tidak ada waham sistemik yang jelas gambaran penyerta yang sering di jumpai.
- Menyertai pelangaran (mennerism) berkelakar.
- Kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrem dari hubungan sosial.
- Berbagai perilaku tanpa tujuan.
Gambaran klinik ini di mulai dalam usia muda (15-25 th) berlangsung pelan – pelan menahan tanpa remisi yang berarti peterroasi kepribadian dan sosial terjadi paling hebat di banding tipe yang lain.
Konsep Dasar Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsang eksternal (dunia luar) klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata, misalnya : klien menyatakan mendengar suara. Padahal tidak ada orang yang bicara.
2. Proses terjadinya halusinasi
Fase pertama
Klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, kesepian yang memuncak dan tidak dapat di selesaikan, klien mulai melamun dan memikirkan hal – hal yang menyenangkan cara ini hanya menolong sementara.
Fase kedua
Kecemasan meningkatkan, menurun dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas, klien tidak ingin orang lain tahu ia tetap dapat mengontrol.
Fase ketiga.
Bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengotrol klien, Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Fase keempat
Halusinasi berubah menjadi mengancam memerintah dan memarahi klien, klien menjadi takut, tidak berdaya hilang kontrol dan tidak berdaya, hilang dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan
3. Tanda – tanda halusinasi
Menurut diri, tersenyum sendiri duduk terpaku, bicara sendiri memandang satu arah, menyerang tiba – tiba, arah gelisah.
4. Jenis halusinasi
a. Halusinasi dengar
Dengar suatu membicarakan, mengejek, menertawakan, mengancam tetapi tidak ada sumbernya disekitarnya.
b. Halusinasi terlihat
Melihat pemandangan, orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada tetapi klien yakin ada.
c. Halusinasi penciuman
Menyatakan mencium bau bunga kemenyan yang tidak dirasa orang lain dan ada sumber.
d. Halusinasi kecap
Merasa mengecap sesuatu rasa di mulut tetapi tidak ada.
e. Halusinasi raba
Merasa ada binatang merayap pada kulit tetapi tidak ada.
PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan awal dan dasar utama dari proses keperawatan tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien.
Data yang dikupulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokan data pada pengakajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien (stuart dan Sunden, 1998). Cara pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) dimensi : fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Isi pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
2. Keluhan utama/alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Dimensi fisik / biologis
5. Dimensi psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Aspek medik
Data yang didapat melalui observasi atau pemeriksaan langsung di sebut data obyektif, sedangkan data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga melalui wawancara perawatan disebut data subyektif.
Dari data yang dikumpulkan, perawatan langsung merumuskan masalah keperawatan pada setiap kelompok data yang terkumpul. Umumnya sejumlah masalah klien saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah (Fasio, 1983 dan INJF, 1996). Agar penentuan pohon masalah dapat di pahami dengan jelas, penting untuk diperhatikan yang terdapat pada pohon masalah : Penyebab (kausa), masalah utama (core problem) dan effect (akibat). Masalah utama adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah yang dimiliki oleh klien. Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan utama. Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang menyebabkan masalah utama. Akibat adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang merupakan efek / akibat dari masalah utama. Pohon masalah ini diharapkan dapat memudahkan perawat dalam menyusun diagnosa keperawatan
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah. Tujuan Umum :
Klien tidak mencederi diri sendiri dan atau orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat hubungan saling percaya :
a. Bina hubungan saling percaya
- Salam terapeutik
- Perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Buat kontrak yang jelas pada setiap pertemuan (topik, waktu dan tempat berbicara).
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Dengarkan ungkapan klien dengan empati.
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
a. Lakukan kontak sering dan singkat
rasional : untuk mengurangi kontak klien dengan halusinasinya.
b. Obeservasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya; bicara dan tertawa tanpa stimulus, memandang kesekitarnya seolah – olah ada teman bicara.
c. Bantu klien untuk mengenal halusinasinya;
- Bila klien menjawab ada, lanjutkan; apa yang dikatakan ?
- Katakan bahwa perawat percaya klien mendengarnya.
- Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti klien.
- Katakan bahwa perawatan akan membantu klien.
d. Diskusikan dengan klien tentang ;
- Situasi yang dapat menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi.
- Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang sore, malam atau bila sendiri atau bila jengkel / sedih).
e. Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan bila terjadi halusinasi (marah / takut / sedih / senang) dan berkesempatan mengungkapkan perasaan.
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara / tindakan yang dilakukan bila terjadi halusinasi (tidur/marah/menyibukkan diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, bila bermanfaat beri pujian.
c. Diskusi cara baru untuk memutus / mengontrol timbulnya halusinasi :
- Katakan “saya tidak mau dengan kamu” (pada halusinasi).
- Menemui orang lain (perawat / teman / anggota keluarga untuk bercakap – cakap . mengatakan halusinaasinya.
- Membuat jadwal kegiatan sehari – hari agar halusinasi tidak sempat muncul.
- Meminta orang lain (perawat / teman anggota keluarga) menyapa bila tampak bicara sendiri.
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus / mengontrol halusinasi secara bertahap.
e. Berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan pujian bila berhasil.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok (orientasi realisasi dan stimulasi persepsi).
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengotrol halusinasinya :
a. Anjurkan klien memberitahu keluarga bila mengalami halusinasi.
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung / pada saat kunjungan rumah)
- Gejala halusinasinya yang dialami klien
- Cara yang dapat dilakukan klien dan ke-luarga untuk memutus halusinasi
- Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah : Beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama
- Berikan informasi waktu follow up atau kapan perlu mandapat bantuan; halusinasi tak terkontrol dan resiko mencederai orang lain.
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik :
a. Diskusi dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat.
b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat merasakan manfaatnya.
c. Anjurkan klien bicara dengan dokter / perawat tentang efek dan efek samping obat yang dirasakan.
d. Diskusikan akibat berhenti obat tanpa kon-sultasi.
e. Bantu klien menggunakan obat, dengan prinsip 5 (lima) benar (benar dosis, benar cara, benar waktu)
Tujuan Umum :
Klien dapat melakukan komunikasi verbal
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien.
- Katakan perawat menerima : saya menerima keyakinan anda, disertai ekspresi menerima.
- Katakan perawat tidak mendukung : sadar bagi saya untuk mempercayainya disertai ekspresi ragu dan empati.
- Tidak membicarakan isi waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindung.
- Gunakan keterbukaan dan kejujuran
- Jangan tinggalkan klien sendirian
- Klien diyakinkan berada di tempat aman, tidak sendirian.
2. Klien dapat mengindentifikasi kemampuan yang dimilki
a. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realitas.
b. Diskusikan dengan klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini yang realistis.
c. Tanyakan apa yang bisa dilakukan (aktiviotas sehari – hari)
d. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai waham tidak ada.
3. Klien dapat mengindentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi :
a. Observasi kebutuhan klien sehari – hari.
b. Diskusi kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah / di RS.
c. Hubungan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien (buat jadwal aktivitas klien).
4. Klien dapat berhubungan dengan realitas :
a. Berbicara dengan klien dalam kontek realita (diri orang lain, tempat, waktu)
b. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok: orientasi realitas
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien.
5. Klien dapat dukungan keluarga :
a. Gejala waham.
b. Cara merawatnya.
c. Lingkungan keluarga.
6. Klien dapat menggunakan obat dengan benar
- Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang obat, dosis, frekuensi, efek samping obat, akibat penghentian.
- Diskusikan perasaan klien setelah minum obat
- Berikan obat dengan prinsip 5 tepat
Tujuan Umum :
Klien mampuan merawat diri sehingga penampilan diri menjadi adekuat
Tujuan Khusus :
1. klien dapat mengindentifikasi kebersihan diri
a. Dorong klien mengungkakan perasaan tentang keadaan dan kebersihan dirinya.
b. Dengan ungkapan klien dengan penuh perhatian dan empati.
c. Beri pujian atas kemapuan klien mengungkapkan perasaan tentang kebersihan dirinya.
d. Diskusi dengn klien tentang arti kebersihan diri
e. Diskusikan dengan klien tujuan kebersihan diri.
2. Klien mendapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan dirinya.
a. Kaji tentang tingkat pengetahuan keluarga tentang kebutuhan perawatan diri klien
b. Diskusikan dengan keluarga
c. Motivasi keluarga dalam berperan aktif memenuhi kebutuhan perawatan diri klien.
d. Beri pujian atas tindakan positif yang telah dilakukan keluaga
Tujuan Umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
Tujuan Khusus :
1.1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
a. Bina hubungan saling percaya
- Salam terapeutik
- Perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Bina kontrak yang jelas (topik, waktu, tempak).
b. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya tentang penyakit yang diderita
c. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
d. Katakan pada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab Serta mampu menolong dirinya sendiri.
1.1. Klien dapat mengindetifikasi kemampuan dan aspek positf yang memiliki
a. Diskusikan kemampuan dan aspek yang di miliki klien. Dapat dimulai dari bagian tubuh yang masih berfungsi dengan baik, kemampuan lain yang dimiliki oleh klien, aspek positif (keluarga, lingkungan) yang dimiliki klien. Bila klien tidak mampu mengindetifikasi maka dimulai oleh perawat memberi pujian terhadap aspek positif klien.
b. Setiap bertemu klien hindarkan memberi penilaian negatif. Utamakan memberikan pujian yang realistis.
1.1. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
a. Diskusikan selama sakit
Misal : penampilan klien dalam “self care”, latihan fisik dan ambulasi serta aspek asuhan terkait dengan gangguan fisik yang dialami klien.
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaanya setelah plan sesuai dengan kondisi sakit klien.
1.1. Klien dapat menetapkan / merencakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan : kegiatan mandiri, kegiatan dengan bantuan sebagian, kegiatan yang membutuhkan bantuan total.
b. Tingkatkan kegiatan sesuai degan tolerasi kondisi klien
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan (kadang klien takut me laksanakannya).
1.1. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuan.
a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
1.1. Klien dapat menfaatkan sistem pendukung yang ada
a. Berikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien harga diri rendah
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantuan keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
A. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
2. Penyebab
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium., tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
d. Susunan saraf pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
e. Teori Adolf Meyer :
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
f. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.
g. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
h. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
i. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan manifest atau faktor pencetus (presipitating factors) seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak menyebabkan Skizofrenia, walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit Skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).
3. Pembagian Skizofrenia
Kraepelin membagi Skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama antara lain :
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adaanya depersenalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi banyak sekali.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan.
e. Episode Skizofrenia akut
Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
f. Skizofrenia Residual
Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan Skizofrenia.
g. Skizofrenia Skizo Afektif
Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga gejala-gejal depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin juga timbul serangan lagi.
Konsep Dasar Skizofrenia Hebefrenik
1. Batasan : Salah satu tipe skizofrenia yang mempunyai ciri ;
1. Inkoherensi yang jelas dan bentuk pikiran yang kacau (disorganized).
2. Tidak terdapat wamam yang sistemik
3. Efek yang datar dan tak serasi / ketolol – tololan.
2. Gejala Klinik
Gambaran utama skizofrenia tipe hebefrenik berupa :
- Inkoherensi yang jelas
- Afek datar tak serasi atau ketolol – tololan.
- Sering disertai tertawa kecil (gigling) atau senyum tak wajar.
- Waham / halusinasi yang terpecah – pecah isi temanya tidak terorganisasi sebagai suatu kesadaran, tidak ada waham sistemik yang jelas gambaran penyerta yang sering di jumpai.
- Menyertai pelangaran (mennerism) berkelakar.
- Kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrem dari hubungan sosial.
- Berbagai perilaku tanpa tujuan.
Gambaran klinik ini di mulai dalam usia muda (15-25 th) berlangsung pelan – pelan menahan tanpa remisi yang berarti peterroasi kepribadian dan sosial terjadi paling hebat di banding tipe yang lain.
Konsep Dasar Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsang eksternal (dunia luar) klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata, misalnya : klien menyatakan mendengar suara. Padahal tidak ada orang yang bicara.
2. Proses terjadinya halusinasi
Fase pertama
Klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, kesepian yang memuncak dan tidak dapat di selesaikan, klien mulai melamun dan memikirkan hal – hal yang menyenangkan cara ini hanya menolong sementara.
Fase kedua
Kecemasan meningkatkan, menurun dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas, klien tidak ingin orang lain tahu ia tetap dapat mengontrol.
Fase ketiga.
Bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengotrol klien, Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Fase keempat
Halusinasi berubah menjadi mengancam memerintah dan memarahi klien, klien menjadi takut, tidak berdaya hilang kontrol dan tidak berdaya, hilang dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan
3. Tanda – tanda halusinasi
Menurut diri, tersenyum sendiri duduk terpaku, bicara sendiri memandang satu arah, menyerang tiba – tiba, arah gelisah.
4. Jenis halusinasi
a. Halusinasi dengar
Dengar suatu membicarakan, mengejek, menertawakan, mengancam tetapi tidak ada sumbernya disekitarnya.
b. Halusinasi terlihat
Melihat pemandangan, orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada tetapi klien yakin ada.
c. Halusinasi penciuman
Menyatakan mencium bau bunga kemenyan yang tidak dirasa orang lain dan ada sumber.
d. Halusinasi kecap
Merasa mengecap sesuatu rasa di mulut tetapi tidak ada.
e. Halusinasi raba
Merasa ada binatang merayap pada kulit tetapi tidak ada.
PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan awal dan dasar utama dari proses keperawatan tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien.
Data yang dikupulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokan data pada pengakajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien (stuart dan Sunden, 1998). Cara pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) dimensi : fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Isi pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
2. Keluhan utama/alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Dimensi fisik / biologis
5. Dimensi psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Aspek medik
Data yang didapat melalui observasi atau pemeriksaan langsung di sebut data obyektif, sedangkan data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga melalui wawancara perawatan disebut data subyektif.
Dari data yang dikumpulkan, perawatan langsung merumuskan masalah keperawatan pada setiap kelompok data yang terkumpul. Umumnya sejumlah masalah klien saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah (Fasio, 1983 dan INJF, 1996). Agar penentuan pohon masalah dapat di pahami dengan jelas, penting untuk diperhatikan yang terdapat pada pohon masalah : Penyebab (kausa), masalah utama (core problem) dan effect (akibat). Masalah utama adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah yang dimiliki oleh klien. Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan utama. Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang menyebabkan masalah utama. Akibat adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang merupakan efek / akibat dari masalah utama. Pohon masalah ini diharapkan dapat memudahkan perawat dalam menyusun diagnosa keperawatan
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah. Tujuan Umum :
Klien tidak mencederi diri sendiri dan atau orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat hubungan saling percaya :
a. Bina hubungan saling percaya
- Salam terapeutik
- Perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Buat kontrak yang jelas pada setiap pertemuan (topik, waktu dan tempat berbicara).
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Dengarkan ungkapan klien dengan empati.
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
a. Lakukan kontak sering dan singkat
rasional : untuk mengurangi kontak klien dengan halusinasinya.
b. Obeservasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya; bicara dan tertawa tanpa stimulus, memandang kesekitarnya seolah – olah ada teman bicara.
c. Bantu klien untuk mengenal halusinasinya;
- Bila klien menjawab ada, lanjutkan; apa yang dikatakan ?
- Katakan bahwa perawat percaya klien mendengarnya.
- Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti klien.
- Katakan bahwa perawatan akan membantu klien.
d. Diskusikan dengan klien tentang ;
- Situasi yang dapat menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi.
- Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang sore, malam atau bila sendiri atau bila jengkel / sedih).
e. Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan bila terjadi halusinasi (marah / takut / sedih / senang) dan berkesempatan mengungkapkan perasaan.
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara / tindakan yang dilakukan bila terjadi halusinasi (tidur/marah/menyibukkan diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, bila bermanfaat beri pujian.
c. Diskusi cara baru untuk memutus / mengontrol timbulnya halusinasi :
- Katakan “saya tidak mau dengan kamu” (pada halusinasi).
- Menemui orang lain (perawat / teman / anggota keluarga untuk bercakap – cakap . mengatakan halusinaasinya.
- Membuat jadwal kegiatan sehari – hari agar halusinasi tidak sempat muncul.
- Meminta orang lain (perawat / teman anggota keluarga) menyapa bila tampak bicara sendiri.
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus / mengontrol halusinasi secara bertahap.
e. Berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan pujian bila berhasil.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok (orientasi realisasi dan stimulasi persepsi).
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengotrol halusinasinya :
a. Anjurkan klien memberitahu keluarga bila mengalami halusinasi.
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung / pada saat kunjungan rumah)
- Gejala halusinasinya yang dialami klien
- Cara yang dapat dilakukan klien dan ke-luarga untuk memutus halusinasi
- Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah : Beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama
- Berikan informasi waktu follow up atau kapan perlu mandapat bantuan; halusinasi tak terkontrol dan resiko mencederai orang lain.
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik :
a. Diskusi dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat.
b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat merasakan manfaatnya.
c. Anjurkan klien bicara dengan dokter / perawat tentang efek dan efek samping obat yang dirasakan.
d. Diskusikan akibat berhenti obat tanpa kon-sultasi.
e. Bantu klien menggunakan obat, dengan prinsip 5 (lima) benar (benar dosis, benar cara, benar waktu)
Tujuan Umum :
Klien dapat melakukan komunikasi verbal
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien.
- Katakan perawat menerima : saya menerima keyakinan anda, disertai ekspresi menerima.
- Katakan perawat tidak mendukung : sadar bagi saya untuk mempercayainya disertai ekspresi ragu dan empati.
- Tidak membicarakan isi waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindung.
- Gunakan keterbukaan dan kejujuran
- Jangan tinggalkan klien sendirian
- Klien diyakinkan berada di tempat aman, tidak sendirian.
2. Klien dapat mengindentifikasi kemampuan yang dimilki
a. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realitas.
b. Diskusikan dengan klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini yang realistis.
c. Tanyakan apa yang bisa dilakukan (aktiviotas sehari – hari)
d. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai waham tidak ada.
3. Klien dapat mengindentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi :
a. Observasi kebutuhan klien sehari – hari.
b. Diskusi kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah / di RS.
c. Hubungan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien (buat jadwal aktivitas klien).
4. Klien dapat berhubungan dengan realitas :
a. Berbicara dengan klien dalam kontek realita (diri orang lain, tempat, waktu)
b. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok: orientasi realitas
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien.
5. Klien dapat dukungan keluarga :
a. Gejala waham.
b. Cara merawatnya.
c. Lingkungan keluarga.
6. Klien dapat menggunakan obat dengan benar
- Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang obat, dosis, frekuensi, efek samping obat, akibat penghentian.
- Diskusikan perasaan klien setelah minum obat
- Berikan obat dengan prinsip 5 tepat
Tujuan Umum :
Klien mampuan merawat diri sehingga penampilan diri menjadi adekuat
Tujuan Khusus :
1. klien dapat mengindentifikasi kebersihan diri
a. Dorong klien mengungkakan perasaan tentang keadaan dan kebersihan dirinya.
b. Dengan ungkapan klien dengan penuh perhatian dan empati.
c. Beri pujian atas kemapuan klien mengungkapkan perasaan tentang kebersihan dirinya.
d. Diskusi dengn klien tentang arti kebersihan diri
e. Diskusikan dengan klien tujuan kebersihan diri.
2. Klien mendapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan dirinya.
a. Kaji tentang tingkat pengetahuan keluarga tentang kebutuhan perawatan diri klien
b. Diskusikan dengan keluarga
c. Motivasi keluarga dalam berperan aktif memenuhi kebutuhan perawatan diri klien.
d. Beri pujian atas tindakan positif yang telah dilakukan keluaga
Tujuan Umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
Tujuan Khusus :
1.1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
a. Bina hubungan saling percaya
- Salam terapeutik
- Perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Bina kontrak yang jelas (topik, waktu, tempak).
b. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya tentang penyakit yang diderita
c. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
d. Katakan pada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab Serta mampu menolong dirinya sendiri.
1.1. Klien dapat mengindetifikasi kemampuan dan aspek positf yang memiliki
a. Diskusikan kemampuan dan aspek yang di miliki klien. Dapat dimulai dari bagian tubuh yang masih berfungsi dengan baik, kemampuan lain yang dimiliki oleh klien, aspek positif (keluarga, lingkungan) yang dimiliki klien. Bila klien tidak mampu mengindetifikasi maka dimulai oleh perawat memberi pujian terhadap aspek positif klien.
b. Setiap bertemu klien hindarkan memberi penilaian negatif. Utamakan memberikan pujian yang realistis.
1.1. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
a. Diskusikan selama sakit
Misal : penampilan klien dalam “self care”, latihan fisik dan ambulasi serta aspek asuhan terkait dengan gangguan fisik yang dialami klien.
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaanya setelah plan sesuai dengan kondisi sakit klien.
1.1. Klien dapat menetapkan / merencakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan : kegiatan mandiri, kegiatan dengan bantuan sebagian, kegiatan yang membutuhkan bantuan total.
b. Tingkatkan kegiatan sesuai degan tolerasi kondisi klien
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan (kadang klien takut me laksanakannya).
1.1. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuan.
a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
1.1. Klien dapat menfaatkan sistem pendukung yang ada
a. Berikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien harga diri rendah
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantuan keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
Langganan:
Postingan (Atom)